Login
Review & Insight Film: The Open House (2018) 🎬

Assalamu'alaykum Salam sejahtera, Good Day Dear Forkompromi readers!

🪞#Intermezzo ala Kak Sarah: Film, Emosi, dan Makna Terselubung

Pernah nggak sih kamu nonton film, terus pas ending-nya malah bengong?
"Lho? Kok gitu sih??!", "Apa sih maksudnyaaaa?"
Nah, The Open House (2018) adalah salah satu film yang sukses bikin kita semua mikir begitu.

Sebagai pengamat sinema amatiran wkwkwkwk, dan peminat naratif akademik, Kak Sarah memandang film bukan cuma hiburan, tapi cerminan kondisi psikologis dan sosial manusia modern. Kadang apa yang bikin kita kesal, justru menyimpan pesan yang lebih dalam. Maka dari itu, Yoook kita bongkar bareng-bareng, apa sebenarnya yang ingin disampaikan film ini, lewat review dan insight kali ini.

The Open House (2018)

Genre: Psychological Horror, Thriller
Bahasa Asli: English
Durasi: ±94 menit
Tersedia di: Netflix
Pemeran Utama:

  • Dylan Minnette sebagai Logan
  • Piercey Dalton sebagai Naomi (ibu Logan)

~ Sinopsis Singkat (Tanpa Spoiler Dulu ya Besties):

Logan dan ibunya, Naomi, pindah ke rumah milik saudara mereka yang kosong, karena sedang dalam masa kesulitan (terasa pedih perih banget atas rasa kehilangan) setelah sang ayah meninggal dunia.

Sang Ayah meninggal dunia setelah momen 'menemani Logan' latihan lari persiapan championship, meninggalnya pas pula di depan mata Logan ketika ada pemabuk yang kehilangan kendali saat menyetir mobil dan menabrak sang Ayah, tepat ketika itu Logan dan Ayahnya sedang mampir sekejap di sebuah supermarket.

Rumah yang merupakan milik 'Aunty-nya Logan itu' terletak di pegunungan, konon mewah dan terpencil, dan katanya 'suasana akan tenang dan bisa membuat mereka calm down dalam masa transisi tersebut. Rumah tersebut akan dijual, jadi mereka hanya bisa tinggal di sana selama hari biasa — karena tiap akhir pekan, rumah itu dibuka untuk open house (orang asing bebas masuk melihat-lihat). Konon katanya, memang banyak yang dari luar kota sengaja datang pada weekend~ untuk mempertimbangkan pembelian rumah mewah ini.

Namun, yang harusnya jadi tempat healing, malah berubah jadi sumber kengerian, apalagi Logan and Mamanya kan masih trauma:

  • Barang berpindah tanpa alasan, apalagi Handphone Logan yang sedang dicharge, pindah lenyap ke ruangan lain.
  • Suara-suara asing di malam hari
  • Ketika Naomi mandi, ada yang 'turn-off'-kan kran air panas, jadi dia mesti ke ruangan bawah tanah untuk kembali memutar tombol turn-on-nya....
  • Tekanan psikologis makin lama makin intens

Sampai akhirnya, mereka sadar… mereka nggak sendirian di rumah itu.

SPOILER ALERT

❗ Salah satu film yang absurd:

Nggak puas nontonnya, karena tega beneeeer, tokoh utamanya meninggal semuaaaaa 😭
Bete banget rasanya abis nonton ini. Tapi… tentu Kak Sarah mau cari tahu apa makna terselubungnya donk dengan film yang penuh misteri dan emptiness ini?

Pertanyaan Kak Sarah:

  • Kenapa Logan dan Naomi meninggal, broooo?
  • Siapa pembunuh mereka?
  • Kenapa tokoh utamanya malah harus mati?

Penjelasan yang tidak terlalu jelas dari para penonton lain di forum "Reviewers Film Tema serupa"

Logan dan Naomi dibunuh oleh sosok asing — “The Man”, pria misterius yang tidak diberi latar belakang, tidak dikenalkan identitasnya, bahkan tidak punya motivasi yang jelas. Padahal hampir semua kita yang telah membuang masa 90 menit-an itu, mengira bahwa 'nenek tua yang tetangganya' itu adalah "The Man" yang dimaksud, a psikopat area itu~ pertama kali menyambut Logan and Naomi (dengan mimik muka aneh) sewaktu mampir di area supermarket dekat pegunungan itu.

Ia menyusup ke rumah saat open house, lalu bersembunyi tanpa sepengetahuan siapapun.

Tapi, entahlah, alurnya itu..... Polisi dua orang datang membantu memeriksa rumah tanpa hasil, terkesan apatis, dan membuat sakit hati para penonton. Teror dimulai dari hal kecil sampai akhirnya brutal — Naomi dibunuh secara sadis, dan Logan mati sia-sia di tengah hutan bersalju. Tak ada penyelamatan, tak ada keadilan, tak ada penjelasan sama sekali!

^_^ Makna Psikologis & Sastra Naratif:

Dalam pendekatan horor pascamodern, The Open House menyajikan teror yang tidak punya sebab, tidak punya logika, dan tidak memberi penonton kenyamanan berupa kejelasan.

Hal ini mencerminkan dunia modern yang:

  • Penuh ketidakpastian
  • Tak semua kejahatan bisa dijelaskan
  • Kadang, tragedi terjadi tanpa alasan dan tanpa pelaku yang bisa dihukum
  • Dunia terasa kian aneh, di perkotaan maupun di pedesaan atau pegunungan

Kak Sarah melihat ini sebagai cerminan rasa powerless manusia modern, terutama pasca kehilangan, duka, dan krisis ekonomi — seperti yang dialami Logan dan Naomi. Maklum saja, Kak Sarah selama 20 tahun menjadi social worker dan edukator yang amat terbiasa menemani langsung orang-orang seperti Logan dan Naomi, bahkan dalam beberapa episode hidup; mengalami langsung perihnya kehilangan sosok-sosok yang dicintai, jadi relate-banget, "empathy yang amat sangat saat menonton ini". Gemesss dan kesal, githu lho.....

Film ini bisa dibedah dari perspektif teori trauma, eksistensialisme, dan dekonstruksi naratif dalam film horor.

Ruang domestik yang seharusnya aman berubah jadi sarang horor. Karakter utama tidak mendapatkan resolusi, karena tujuan film ini adalah memperlihatkan absurditas dunia — sesuatu yang sangat relevan dalam studi postmodernisme. I feel it deeply.....

📉 Respons Emosional Penonton:

Film ini menuai banyak kritik karena:

  • Ending yang terlalu menggantung
  • Tidak ada resolusi atau penjelasan
  • Tidak memberi “hadiah emosional” bagi penonton

Tapi... buat kamu yang suka diskusi dan analisis, film ini justru jadi trigger menarik buat refleksi pribadi dan sosial. Tentu saja, sebagai informasi baru juga buat urusan studi atau penelitian, yeay! ^_^

🍿 Rekomendasi Alternatif untuk Ending yang Lebih Memuaskan

Kalau kamu butuh horor psikologis yang lebih manusiawi, tetap intens tapi ending-nya lebih "lega", cobain deh lirik....

  1. The Others (2001) – Twist-nya brilian, menenangkan jiwa
  2. The Orphanage / El Orfanato (2007) – Sedih tapi sangat puitis
  3. The Babadook (2014) – Menghadapi duka secara simbolik
  4. Lights Out (2016) – Horor klasik dengan ending yang “heroik”
  5. A Tale of Two Sisters (2003) – Sinema Korea dengan narasi psikologis penuh makna

Why The Open House (2018) Feels Like a Waste of Time – A Brutally Honest Review

Dear cinephiles & curious minds,
Kak Sarah bukan untuk memuji film, tapi justru untuk mengajak kita berpikir kritis dan waspada sebelum buang waktu nonton film yang mengecewakan.

Film ini banyak dibahas bukan karena bagus, tapi karena betapa bikin kesal dan membuang waktu.
Salah satu komentar jujur dan sarkastik datang dari Seth Crockett, seorang penonton yang akhirnya merasa harus melakukan review pertamanya seumur hidup hanya untuk memperingatkan kita semua.

🗣️ Seth Crockett – Viewer Review (5 Years Ago):

“...Tbh, this movie had the theatrical range and all of the intelligence of an airline salad.”

“Seriously. Don’t watch this if you have anything better to be doing — like cleaning your hamster’s cage or watching a history documentary.”

“Basically — believe me — you have a life to live so do your best to avoid wasting your time on this piece of garbage.”

Kata beliau,

“Film ini punya kualitas akting dan kecerdasan setara salad maskapai penerbangan. Serius deh. Jangan tonton kalau kamu masih punya kegiatan lain — bahkan membersihkan kandang hamster lebih berfaedah. Kamu punya hidup untuk dijalani, jadi jangan buang waktu nonton film sampah ini.”

💣 What's So Bad About The Open House? (Seth Crockett , 2019)

1. ⚖️ Pacing Sangat Lambat

Yes, horror with slow buildup is fine — IF it leads to something.
🎞️ Tapi The Open House? Lambat, tanpa tujuan, tanpa payoff.

“Slow and boring to start with, which I don’t mind… but we weren’t lucky enough to have a decent narrative or suspense.”

2. 🤯 Ending-nya Kacau dan Mengecewakan

Seth menulis, “Bad ending? I’ve seen bad. But this one is like winning a raffle and getting a can of soup as the prize.”

🥴 “Kamu kayak menang undian, tapi hadiahnya cuma kaleng sup.”

Penonton berharap ada pengungkapan — siapa pelaku? Kenapa? Apa maksudnya? Tapi nihil.
Semua karakter utama mati. Penjahat tidak dijelaskan. Cerita tidak tuntas.

🧟‍♀️ Karakter Misterius yang Tidak Berguna

Salah satu tokoh yang bikin bingung adalah perempuan tua aneh yang muncul beberapa kali di film.

Tapi tidak pernah dijelaskan siapa dia, kenapa dia aneh, atau apa hubungannya dengan kejadian utama.
Seth menyebutnya sebagai, “a crazy woman having zero context other than being a creep.”

😤 Feeling After Watching:

Seth menutup review-nya dengan penuh kekesalan:

“Thank you The Open House for wasting my Sunday night when I could’ve been writing my will or something.”

“Terima kasih, The Open House, sudah membuang malam Minggu saya, padahal saya bisa pakai waktu itu untuk nulis surat wasiat.”

💡 Kesimpulan

📌 The Open House (2018) bukanlah film horor psikologis yang menawarkan pengalaman mendalam atau menyegarkan.
📌 Ini contoh bagaimana film bisa gagal menyampaikan narasi, gagal memberi emosi, dan gagal membayar waktu penonton.
📌 Kalau kamu pencinta horor yang mengharapkan makna, tensi, dan resolusi — film ini hampir pasti akan mengecewakanmu.

🔁 Hmmm, Jadi Nonton atau Tidak?

TIDAK.
Kecuali kamu:

  • Ingin menganalisis kegagalan struktur naratif dalam sinema horor
  • Menulis skripsi tentang film dengan ending kosong yang disengaja
  • Atau sekadar ingin marah-marah bareng netizen film 🤭

📢 Penutup Singkat

Di Balik Horor, Ada Pesan Kemanusiaan
Di tengah kekesalan dan kritik pedas yang pantas diterima oleh The Open House (2018), Kak Sarah tetap ingin mengajak kamu semua — para mahasiswa, alumni, dan kadang #intermezzo menjadi pecinta film lintas generasi — untuk melihat pesan kemanusiaan yang paling dalam dari kisah ini.

Film ini bukan sekadar hiburan, tapi alat refleksi jiwa, menggambarkan betapa dalamnya luka, duka, dan rasa tak aman di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.

Kalau kamu merasa “bete banget” atau kesal setelah nonton — itu wajar. Tapi jangan berhenti di rasa itu. Kita bisa gali dan temukan maknanya lebih dalam. Karena kadang, film absurd pun punya “pesan tersembunyi” yang membuka wawasan kita. Pesan terdalam yang bisa Kak Sarah share adalah "Sesedih gimana pun kita, se-berduka atau terluka sedalam apapun, atasi dengan bijak dan perlahan — jangan ambil keputusan ekstrem dalam kondisi rapuh.”

Logan dan Naomi adalah gambaran manusia yang sedang berkabung:

-Baru kehilangan sosok ayah/suami

-Kehilangan kestabilan finansial

-Kehilangan arah dan kontrol hidup

Mereka buru-buru pergi ke tempat asing, atas usulan sang Tante, rumah kosong di daerah terpencil yang bahkan bukan milik sendiri — hanya karena ingin menghindari kenyataan dan memulai dari awal.
Tapi tanpa kesiapan, tanpa pemahaman akan lingkungan, dan tanpa sistem dukungan yang cukup, justru mereka jatuh ke dalam bahaya yang lebih dalam dan tak terduga.

Kadang dalam hidup, kita merasa ingin "lari saja" dari kenyataan.
Tapi buru-buru menyepi atau pindah ke wilayah yang tak kita kuasai — baik secara fisik maupun emosional — bisa memperbesar rasa kehilangan dan bahkan membuka celah bagi "kegelapan" lain untuk masuk, baik secara harfiah maupun simbolis.

Trauma tidak selesai dengan pindah tempat.
Kesedihan tidak bisa diusir dengan kesunyian kosong.
Kita tetap perlu proses, dukungan, dan kesadaran penuh dalam menghadapi luka.

🎓 Untuk Para Peneliti yang membaca kisah ini,
Dalam studi psikologi sinema, film seperti ini bisa jadi bahan diskusi yang penting tentang:

Coping mechanism yang tidak sehat

Bahaya isolasi emosional pasca-trauma

Pentingnya sistem sosial & pengetahuan terhadap lingkungan sekitar

Jangan lari terlalu cepat ke tempat asing saat sedang hancur.
Healing bukan soal menjauh, tapi soal mengerti dan menyembuhkan dari dalam.
Rumah yang kosong dan tenang, bisa saja menyimpan ancaman jika kamu datang dalam kondisi rapuh tanpa arah.

Terima kasih sudah ikut merenung bareng Kak Sarah yaaah! Remember besties, "You'll never walk alone, You never study alone! "(Patiro, 2020). Everyone is awesome, lanjuuutkan, Happy learning, Happy working, and Happy researching!

See you…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *